Tradisi Pacu Jalur Diklaim Malaysia Setelah Viral, Kadispar Riau: Fakta dan Sejarahnya Jelas

13 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Jagat maya riuh setelah warganet Malaysia diduga mengklaim tradisi pacu jalur yang tengah viral berkat tren aura farming di TikTok. Mendapati itu, Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Riau, Roni Rakhmat, turut berkomentar.

"Kami memahami dinamika media sosial. Namun, perlu ditegaskan bahwa pacu jalur adalah warisan budaya asli Indonesia, spesifiknya dari Kuantan Singingi, Riau," kata dia, melansir Media Center Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, Selasa (8/7/2025).

Roni menggarisbawahi bahwa Kementerian Kebudayaan telah mengakui pacu jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ia berpendapat, klaim tersebut mungkin muncul karena kedekatan budaya dan geografis antara Riau dan Malaysia sebagai negeri serumpun.

Namun, ia menekankan, fakta dan sejarahnya jelas. Pihaknya akan terus berupaya mengedukasi masyarakat luas, baik di dalam maupun luar negeri, mengenai keaslian dan kekayaan budaya pacu jalur, memastikan bahwa warisan budaya Indonesia tetap diakui sebagaimana mestinya.

Aura Farming dan Pacu Jalur

Istilah aura farming mengacu pada tindakan seseorang yang dinilai keren atau mampu membangun "aura moment," sehingga terlihat layaknya tokoh utama. Dalam konteks pacu jalur, tren ini menampilkan bocah-bocah pendayung dengan gerakan khas memutar tangan dan mengayun untuk menjaga keseimbangan di atas perahu yang melaju cepat, diiringi lagu "Young Black & Rich" karya Melly Mike.

Gerakan ikonis dalam pacu jalur ternyata memikat hati warganet global, memicu banyak video meme meniru gaya keren ala pendayung jalur. Festival Pacu Jalur, yang masuk agenda Kharisma Event Nusantara (KEN), digelar setiap Agustus di Tepian Narosa, Taluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Secara etimologi, "pacu" berarti perlombaan, sementara "jalur" merujuk pada perahu. Jadi, pacu jalur secara sederhana dapat diartikan sebagai "perlombaan mendayung perahu." Atraksi ini dimulai dengan letupan meriam karbit sebanyak tiga kali, yang berfungsi sebagai aba-aba bagi peserta, mengingat luasnya arena dan riuhnya ribuan penonton.

Asal-mula Pacu Jalur

Setiap jalur yang berlomba diawaki beberapa peran penting: tukang concang (pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang tari, dan tukang onjay. Setelah meriam karbit diletupkan, mereka berlomba menerobos arus Sungai Kuantan menuju garis finis.

Setiap jalur, yang biasanya dibuat sepanjang kurang lebih 40 meter, membutuhkan biaya hingga Rp100 juta per unit, yang didanai secara swadaya oleh masyarakat Kuansing, menunjukkan semangat gotong royong yang kuat. Setiap perahu akan didayung 50─60 orang, tergantung panjangnya. 

Roni menyebut bahwa menurut tradisi lisan masyarakat setempat, pacu jalur awalnya adalah sarana transportasi menyusuri Sungai Batang Kuantan, dari hulu Kuantan hingga Cerenti.

"Karena transportasi darat belum berkembang di masa itu, jalur tersebut sebenarnya digunakan sebagai sarana transportasi penting bagi penduduk desa. Digunakan sebagai sarana pengangkutan hasil Bumi, seperti buah-buahan lokal dan tebu. Selain itu, berfungsi untuk mengangkut sekitar 40─60 orang per perahu," kata Roni.

Pergelaran Festival Pacu Jalur

Pada perkembangannya, perahu transportasi memanjang ini sengaja dihias dengan unsur daerah setempat, biasanya melukiskan kepala ular, buaya, dan harimau. Pemerintah telah mengakui dan menetapkan pacu jalur sebagai Warisan Budaya Nasional Takbenda Indonesia.

Terkait viralnya pacu jalur di media sosial, Roni berkomentar, "Ini membuktikan bahwa kearifan lokal kita memiliki daya tarik universal dan mampu bersaing di panggung global. Fenomena ini juga jadi momentum emas untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan ke Riau dan Kuantan Singingi, sekaligus menumbuhkan kebanggaan masyarakat lokal terhadap budayanya sendiri."

Festival Pacu Jalur sudah digelar sejak masa kolonial Belanda untuk memeriahkan perayaan adat sejak 1890 dan secara spesifik digunakan untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina pada 31 Agustus. Setelah kemerdekaan, festival ini berkembang untuk merayakan HUT RI dan sempat diselenggarakan untuk memperingati hari-hari besar umat Islam, seperti Maulid Nabi, Idulfitri, maupun Tahun Baru Islam.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |