Lika-liku Bisnis Kopi Berkelanjutan di Tengah Krisis Iklim

17 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Bisnis kopi─bersama lusinan sektor lain─berada di barisan depan industri yang terdampak langsung krisis iklim. Di tengah tantangan yang sedemikian rupa, produksi kopi secara berkelanjutan justru diperkenalkan, salah satunya oleh Adena Coffee.

Founder dan CEO Adena Coffee, Abyatar, mengatakan dalam keterangannya pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 4 Juli 2025, "Bagi Adena, produksi kopi berkelanjutan berarti menumbuhkan, mengolah, dan memperdagangkan kopi dengan menjaga keseimbangan antara tiga hal: alam, masyarakat, dan keberlangsungan ekonomi."

"Berbeda dengan pendekatan konvensional yang sering berfokus pada volume dan efisiensi jangka pendek, kami melihat kopi sebagai bagian dari lanskap hidup: hutan, air, budaya, dan generasi muda di daerah asalnya," imbuhnya. "Sebagai Adena, kami berupaya membangun daerah penghasil kopi dan manusianya, tidak sekedar mengejar rasa yang enak."

Di Gayo, misalnya, Abyatar mencontohkan, pihaknya menyebarkan pengetahuan pertanian dengan sistem agroforestri untuk menjaga biodiversitas dan siklus nitrogen alami. Kemudian di Flores, mereka bekerja bersama komunitas adat di Waerebo dan Kampung Toba dalam menjaga sumber mata air dan memperkenalkan praktik regeneratif untuk menghidupkan kembali lahan yang terbengkalai.

Tantangan Bisnis Kopi Berkelanjutan

"Lalu di Bali," sebut Abyatar. "Kami fokus pada revitalisasi hutan dataran tinggi, serta mengolah kopi berkualitas sebagai penyeimbang antara pelestarian ekosistem dan pendapatan ekonomi masyarakat."

Ia mengatakan bahwa praktik produksi kopi berkelanjutan berkorelasi positif dengan rasa kopi yang dihasilkan. "Ketika pohon kopi ditanam di bawah naungan beragam tanaman dalam sistem agroforestri, seperti yang kami terapkan di Gayo dan Jawa Barat, hasil ceri cenderung lebih kompleks secara rasa karena pohon tidak stres, tanah terjaga kelembabannya, dan mikroklimat yang mendukung."

Terkait tantangan produksi kopi secara berkelanjutan di tengah krisis iklim, Abyatar menjawab, "Kopi secara langsung terdampak perubahan iklim, setidaknya karena curah hujan yang tidak terpola, serta suhu rata-rata yang semakin meningkat, membuat tantangannya sangat nyata dan beragam."

"Contohnya di Manggarai, kami menemukan kondisi mikroklimat yang sangat lembap, mempersulit proses pengeringan kopi. Di Gayo, serangan coffee berry borer (CBB) terjadi pada kebun-kebun dataran rendah, seiring dengan semakin panasnya suhu rata-rata."

"Di berbagai tempat lain, masih banyak petani yang belum mendapat akses informasi untuk beradaptasi terhadap perubahan ini," imbuhnya.

Bagaimana Solusinya?

Di luar teknis, menurut Abyatar, tantangan besar lainnya adalah harga. "Jika pasar tidak siap membayar harga wajar untuk kopi berkelanjutan, beban terbesar tetap ditanggung petani. Ini membuat pada satu titik petani dapat mengubah komoditas pada lahannya, seperti yang terjadi pada kasus tanaman cokelat," ia menjelaskan.

Lantas, apa saja solusi yang telah mereka upayakan? "Adena percaya bahwa tidak ada satu solusi untuk setiap masalah," kata dia. "Menemukan partner yang tepat pada setiap bidang membuat satu per satu masalah dapat dihadapi. Kami melihat kolaborasi dan membangun ekosistem konsumen (roastery, kafe dan, importir), kolaborator pendamping pertanian, dan NGO yang mengenalkan kami dengan ahli di berbagai bidang, serta pendukung sistem finansial bisnis agrikultur sangatlah penting."

"Adena hingga saat ini masih terus belajar pada banyak komunitas petani di berbagai daerah. Salah satu kemewahan yang Adena bisa peroleh adalah kesempatan belajar, mendengar, dan menyatukan pengetahuan tersebut dalam satu wadah untuk diteruskan pada komunitas petani di daerah lain. Semangat itu juga yang kami kolaborasikan lintas sektor, seperti (dalam) program hibah DBS Foundation."

Blended Finance

Ya, bisnis kopi berkelanjutan itu merupakan penerima dana hibah DBS Foundation Grant Program 2024 sebelum jadi penerima pertama blended finance dari Bank DBS Indonesia, baru-baru ini. Executive Director Head of SME Banking, Institutional Banking Group PT Bank DBS Indonesia, Angela Thenaria mengatakan, "Kami menghadirkan skema blended finance—kombinasi antara dana hibah dan pembiayaan lunak—untuk mengatasi kesenjangan akses permodalan yang kerap menghambat pertumbuhan wirausaha sosial di dalam negeri."

"Di Indonesia, UMKM menyerap lebih dari 97 persen tenaga kerja, namun masih sedikit yang memiliki akses ke pembiayaan formal. Bagi wirausaha sosial, tantangannya lebih kompleks karena model bisnis mereka sering kali belum memenuhi kriteria kelayakan bank."

"Skema blended finance hadir sebagai solusi konkret, dengan memperkecil risiko bagi perbankan dan mendorong terciptanya pertumbuhan yang berkelanjutan," ujar dia. Skema blended finance ini didukung proses seleksi yang ketat, termasuk uji kelayakan menyeluruh saat penerima dana hibah mengikuti DBS Foundation Grant Program.

Bank DBS Indonesia juga mengaku memastikan adanya pemantauan berkala, serta transparansi dalam setiap tahap pencapaian milestone. Head of Group Strategic Marketing and Communications PT Bank DBS Indonesia, Mona Monika, mengatakan, "Sejalan dengan pilar keberlanjutan Impact Beyond Banking, dengan menggabungkan dana hibah dari DBS Foundation dan skema blended finance, kami berharap solusi ini dapat mendukung wirausaha sosial dalam mengakselerasi pencapaian bisnis mereka."

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |