Studi: 10 Persen Orang Terkaya di Dunia Sebabkan Dua Pertiga Pemanasan Global

7 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 10 persen orang terkaya di dunia bertanggung jawab atas dua pertiga pemanasan global sejak 1990. Cara orang kaya mengonsumsi dan berinvestasi telah meningkatkan risiko gelombang panas dan kekeringan yang mematikan.

Mengutip Japan Today, Kamis (8/5/2025), fakta ini diungkap lewat laporan para peneliti dalam studi pertama yang diterbitkan pada 7 Mei 2025. Mereka mengukur dampak kekayaan pribadi yang terkonsentrasi pada peristiwa iklim ekstrem. 

"Kami menghubungkan jejak karbon orang-orang terkaya secara langsung dengan dampak iklim di dunia nyata," kata penulis utama Sarah Schoengart, seorang ilmuwan di ETH Zurich, kepada AFP. "Ini adalah pergeseran dari penghitungan karbon menuju akuntabilitas iklim."

Dibandingkan dengan rata-rata global, misalnya, satu persen orang terkaya berkontribusi 26 kali lebih banyak pada gelombang panas yang terjadi sekali dalam satu abad, dan 17 kali lebih banyak pada kekeringan di Amazon, menurut temuan yang dipublikasikan di Nature Climate Change.

Emisi dari 10 persen orang terkaya di Tiongkok dan Amerika Serikat, yang bersama-sama menyumbang hampir setengah dari polusi karbon global. Dari kedua negara menyebabkan peningkatan dua hingga tiga kali lipat dalam suhu ekstrem.

Pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan telah memanaskan permukaan Bumi rata-rata hingga 1,3 derajat Celsius, sebagian besar selama 30 tahun terakhir.  Schoengart dan rekan-rekannya menggabungkan data ekonomi dan simulasi iklim. Mereka melacak emisi dari berbagai kelompok pendapatan global dan menilai dampaknya pada jenis cuaca ekstrem tertentu yang meningkatkan iklim.

Pemilik Modal Bisa Dimintai Tanggung Jawab

Para peneliti juga menekankan peran emisi yang tertanam dalam investasi finansial, bukan hanya gaya hidup dan konsumsi pribadi. "Tindakan iklim yang tidak membahas tanggung jawab besar dari anggota masyarakat terkaya berisiko kehilangan salah satu daya ungkit paling kuat yang kita miliki untuk mengurangi kerusakan di masa mendatang," kata penulis senior Carl-Friedrich Schleussner, kepala Kelompok Penelitian Dampak Iklim Terpadu di Institut Internasional untuk Analisis Sistem Terapan dekat Wina.

Menurutnya, pemilik modal dapat dimintai pertanggungjawaban atas dampak iklim melalui pajak progresif atas kekayaan dan investasi intensif karbon. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa mengenakan pajak atas emisi terkait aset lebih adil daripada pajak karbon secara luas, yang cenderung membebani mereka yang berpenghasilan rendah.

Inisiatif baru-baru ini untuk meningkatkan pajak atas orang-orang superkaya dan perusahaan multinasional sebagian besar terhenti, terutama sejak Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih. Tahun lalu, Brasil sebagai tuan rumah G20  mendorong pajak dua persen atas kekayaan bersih individu dengan aset lebih dari 1 miliar dolar AS. 

Kenaikan Pajak untuk Orang Terkaya

Meskipun para pemimpin G20 sepakat bekerja sama untuk memastikan bahwa individu dengan kekayaan bersih sangat tinggi dikenakan pajak secara efektif, belum ada tindak lanjut hingga saat ini. Pada 2021, hampir 140 negara menyetujui upaya menuju pajak perusahaan global untuk perusahaan multinasional.

Hampir setengahnya mendukung tarif minimum 15 persen, tetapi pembicaraan tersebut juga terhenti. Penelitian juga mengungkap bahwa hampir sepertiga miliarder dunia berasal dari Amerika Serikat, yang diungkap lebih banyak dari gabungan kekayaan Tiongkok, India, dan Jerman, menurut majalah Forbes.

Menurut LSM anti-kemiskinan Oxfam, 1 persen orang terkaya telah mengumpulkan kekayaan baru senilai 42 triliun dolar AS selama satu dekade terakhir. Dikatakan bahwa satu persen orang terkaya memiliki kekayaan lebih banyak daripada gabungan kekayaan 95 persen orang termiskin.

Adapun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan yang mengungkap bahwa perubahan iklim akan membuat lebih dari separuh daratan di Bumi mengalami kekeringan secara permanen dalam beberapa puluh tahun mendatang. Penelitian ini dirilis dalam laporan terbaru UN Convention to Combat Desertification (UNCCD). 

77,6 Persen Daratan di Bumi Menjadi Kering

Mengutip kanal Global Liputan6.com yang melansir laman Live Science pada Selasa, 17 Desember 2024, penelitian berjudul The Global Threat of Drying Lands: Regional and global aridity trends and future projections ini mengungkap bahwa selama 30 tahun terakhir, 77,6 persen daratan di Bumi mengalami kondisi yang lebih kering dibandingkan tiga dekade terakhir. Selama periode tersebut, jumlah tanah yang mengering meluas menjadi 4,3 juta kilometer persegi atau sekitar 40 persen daratan di Bumi.

Lebih dari 30 persen manusia atau sekitar 2,3 miliar orang kini tinggal di daerah kering tersebut. Jika kondisi ini berlanjut, PBB menilai akan ada lima miliar orang diprediksi akan hidup atau berusaha hidup di dataran kering pada akhir abad ini.

Sekarang ada jutaan orang yang berusaha pindah dari daerah yang semakin gersang ke wilayah lembap. Daratan yang mengering terjadi akibat berbagai faktor.

Saat perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu di seluruh dunia, air lebih mudah menguap dari permukaan, dan diserap oleh atmosfer. Hal ini mendorong daratan bumi semakin kering, secara permanen mengubah hutan yang dulunya hijau menjadi padang rumput, wilayah lembap menjadi gersang dengan dampak serius untuk pertanian, ekosistem alam, dan manusia.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |