Kreator Konten Asing Bongkar Produksi Tahu Indonesia Berbahan Bakar Sampah Plastik

5 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - "Selamat datang di Surabaya, Jawa Timur—tempat seluruh desa dengan rumah makan tahu yang halaman belakangnya dipenuhi truk-truk berisi (sampah) plastik yang dijadikan bahan bakar dan menghasilkan tahu yang dicampur dioksin tingkat dewa," bunyi keterangan awal video kreator konten asing, Andrew Fraser, di kanal YouTube-nya, Sabtu, 26 April 2025.

Di klip berdurasi 22 menit dan 20 detik itu, Fraser memastikan bahwa ia "tidak sedang mencari sensasi karena dalam video ini, saya akan membuktikannya pada Anda." "Kami sedang mengunjungi pusat tahu beracun di dunia, di Surabaya," ucapnya.

Ia melanjutkan, "Kita akan melihat desa demi desa yang memiliki pabrik tahu dalam jumlah besar. Spoiler, tahu beracun ini melibatkan pembakaran banyak plastik." Fraser kemudian menyoroti bagaimana tahu jadi makanan pokok di banyak wilayah di Indonesia, termasuk Surabaya.

"Rantai pasokannya dimulai di desa-desa tahu yang mengelilingi pinggiran kota. Anda bisa melihat cerobong asap saat berjalan melewati desa. Hanya gumpalan asap hitam besar yang mengepul dari cerobong asap di seluruh desa. Asap tebal dan berminyak," ungkapnya.

"Asap mengepul, dan desa itu tampak seperti industri batu bara kecil, bukan pabrik makanan ... Membuat tahu dalam skala ini membutuhkan banyak panas. Ketel uap besar menyala tanpa henti. Wajan besar untuk menggoreng tahu, dan untuk menekan biaya, mereka mengandalkan apapun yang termurah."

Di video, Fraser menyebut sampah plastik yang dipakai bersumber "lokal." "Mereka menggunakan campuran kayu dan kelapa (yang sudah tidak ada daging dan airnya), yang mungkin Anda lihat di atas pembakar. Namun, bahan bakar yang paling andal dan konsisten adalah limbah plastik," ungkapnya.

Bau Plastik Terbakar di Mana-Mana

Fraser berkata, "Ada 56 pabrik, saya yakin mereka bilang, yang menggunakan sampah sebagai bahan bakar. Benar-benar gila." Ia kemudian memperlihatkan proses pembuatan tahu, mulai dari perendaman kacang kedelai yang kemudian digiling, hingga pemisahan air dan tahu padat yang kemudian jadi produk akhir.

"Tidak ada pemborosan waktu di sini. Mereka tidak menyelesaikan satu batch secara tuntas, lalu memulai batch berikutnya. Begitu salah satu tong kosong, tong itu langsung digunakan untuk batch berikutnya. Satu batch demi satu batch, tanpa henti, dan kondisi kerja di sini ... Maksud saya, sangat intens," ungkapnya.

"Udara di sini adalah campuran udara lembap dari kedelai, keringat, rokok, dan asap plastik. Sungguh luar biasa betapa tempat-tempat ini mengingatkan saya pada Dobby Gat, daerah kumuh tempat mencuci di Mumbai (India)."

"Anda tahu bau yang tidak sedap itu ketika Anda mulai membakar plastik, tapi di dalam hati Anda, Anda tahu ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang terjadi. Anda seharusnya tidak menghirup udara ini. Itulah bau seluruh desa ini. Udara dipenuhi asap hitam dan bau plastik terbakar ada di mana-mana," ia menambahkan.

Menurut Fraser, banyak produsen tahu yang ingin berhenti menggunakan plastik. Namun, tidak ada permintaan dari konsumen di Surabaya untuk produk yang lebih bersih.

Mau Beralih, tapi ....

Salah satu produsen yang tidak disebut namanya mengatakan, "Ada banyak perbedaan antara plastik dan kelapa. Plastik, itu bisa datang setiap hari, sangat sering, sementara harga kelapa sedang sangat, sangat tinggi."

"Kayu sama saja dengan kelapa," ia menambahkan. "Mereka tidak bisa datang sering karena, misalnya, stok kayunya. Tidak sebanyak plastik. Kami tidak punya solusi. Kami tidak bisa melakukan apa-apa."

"Pemerintah hanya memberi peringatan, tapi mereka tidak memberi solusi dan mereka tidak punya peraturan untuk memperbaikinya," tandasnya. Fraser kemudian menyimpulkan, "Bukan hanya soal harga. Bukan karena mereka suka membakar sampah. Tapi saat ini, itulah satu-satunya cara mereka bisa tetap hidup."

Kendati demikian, kreator konten tersebut mengatakan, "ini bukan masalah yang tidak dapat diperbaiki." Beberapa pabrik yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar mengaku padanya bahwa bahan itu sebenarnya lebih efisien daripada plastik. "Mereka hanya membutuhkan lebih banyak modal di awal untuk membangunnya. Pinjaman dapat membantu di sini," menurutnya.

Video ini, kata dia, dibuat bukan untuk menjelek-jelekkan tahu Indonesia atau membuat pabrik tahu mana pun ditutup. "Para pembuat tahu ini sebenarnya ingin berubah—mereka sendiri yang mengatakannya pada saya. Masalahnya, mereka tidak mendapat panduan apapun."

"Tidak ada aturan yang jelas. Tidak ada bantuan untuk beralih. Itulah yang perlu diperbaiki," tandasnya. Lifestyle Liputan6.com sudah meminta komentar lebih lanjut dari Fraser.

Dampak Pembakaran Sampah Plastik

Masalahnya, pabrik berbahan bakar sampah tidak hanya ditemukan di Indonesia, namun juga sejumlah negara lain, terutama negara-negara berkembang. Menurut studi oleh para peneliti di Curtin University, yang diterbitkan di Nature Cities, pembakaran plastik memiliki konsekuensi yang buruk terhadap kesehatan pernapasan, lapor Geographical.

Proses ini melepaskan zat kimia beracun, seperti dioksin, furan, dan logam berat ke udara dan menyebabkan berbagai kondisi, seperti penyakit paru-paru. Di Indonesia, sampel tanah dan makanan tercatat mengandung kadar racun berbahaya yang terkait pembakaran plastik setelah diukur selama survei.

Bagi perempuan dan anak-anak, dampak kesehatan ini lebih terasa, karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu di rumah tempat plastik dibakar. Bahan kimia ini juga dapat menyebar ke seluruh lingkungan dan kota dengan dampak yang luas.

Para peneliti dari KCL dan ICL memperkirakan bahwa di seluruh dunia, jelaga dari pembakaran sampah terbuka memiliki sekitar 2 hingga 10 persen dampak pemanasan global yang ditimbulkan emisi karbon global.

Peneliti utama studi Universitas Curtin, Dr. Bishal Bharadwaj, juga menyatakan kekhawatiran bahwa seiring meningkatnya urbanisasi yang "cepat dan tidak terkelola" di negara-negara berkembang, tekanan lebih lanjut akan diberikan pada layanan. seperti pengelolaan sampah.

Ditambah lagi dengan proyeksi bahwa penggunaan plastik akan meningkat tiga kali lipat di seluruh dunia pada 2060, yang berpotensi menciptakan situasi di mana rumah tangga di negara-negara berkembang jadi semakin bergantung pada plastik sebagai sumber bahan bakar.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |