Liputan6.com, Jakarta - Didit Hediprasetyo mengaku memanfaatkan terapi seni untuk menjaga kesehatan mentalnya di masa pandemi COVID-19, beberapa tahun lalu. Seperti kebanyakan orang, putra tunggal Presiden Prabowo Subianto itu dilanda kecemasan saat ruang berkreasinya mendadak jadi serba terbatas dan membingungkan di tengah krisis kesehatan global.
Perjalanan pemeliharaan kesehatan mentalnya membuat sang desainer menemukan Monica Ogaz, seniman Meksiko yang berbasis di Florence, Italia, yang memadukan seni visual dengan psikoterapi. Praktiknya dilakukan untuk mendukung penyembuhan emosional, khususnya pada anak-anak dan remaja.
"Sesi terapi seni ini juga berupa meditasi, selain melukis. Kita akan diminta melukis apapun, tanpa harus khawatir hasilnya bagus atau jelek," kata Didit di pembukaan pameran yayasannya di Jakarta Selatan, Jumat, 2 Mei 2025. Menariknya, lukisan pertamanya dari sesi terapi ini malah diminta dirobek.
Berbagi perasaannya atas permintaan itu, Didit berkata, "Kita selalu berusaha membuat sesuatu yang sempurna, tapi kemudian hidup berkata, 'Tidak semudah itu.' Kita merencanakan sesuatu yang indah, tapi kemudian itu tidak akan selalu jadi indah, bukan?"
"Hidup akan selalu melempar sesuatu, memotong rencana Anda. Jadi begitulah yang saya rasakan. Tapi dari situ saya memahami bahwa bahkan setelah Anda merobeknya, Anda masih bisa bermain-main dengannya, dan mungkin itu akan jadi sesuatu yang lebih indah."
Monica berkata, ia sengaja meminta demikian, karena sebagai desainer fesyen, Didit telah fokus pada keindahan di sebagian besar waktunya. "Terapi seni adalah latihan yang bagus untuk melepaskan dan memahami bahwa hidup itu tidak selalu indah. Kita bisa punya rencana, tapi kita akan meninggal, atau sakit, atau hal-hal buruk akan terjadi, jadi hidup tidaklah sempurna."
Seni untuk Melepaskan
Menurut Monica, sesi terapi seni adalah ruang untuk berlatih, seperti "otot-otot Anda dilatih," katanya. "Anda akan belajar secara perlahan untuk melepaskan. Saya pikir, ada banyak metafora yang bisa kita pelajari," ujarnya.
"Sayangnya," ia menambahkan. "Kita menganggap bahwa seni hanya untuk kalangan tertentu saja, padahal tidak. Kita harus membuatnya bisa diakses semua orang, dan itulah yang sedang kami coba lakukan."
Merasa mendapat manfaat dari terapi seni, Didit mulai mengajak teman-temannya mengikuti sesi tersebut. "Waktu itu karena masih pandemi, kami melakukannya secara online," aku pria berusia 41 tahun tersebut.
Hingga akhirnya, manfaat terapi seni yang semula dirasakan hanya oleh Didit diperluas melalui aksi yayasannya, Didit Hediprasetyo Fondation, dengan mengajak anak-anak panti asuhan ambil bagian dalam praktik ini. Dari situ, mereka mempersembahkan pameran "Expression of the Journey."
"Saya sangat bersyukur bisa berbagi proses ini dengan masyarakat yang peduli, anak-anak panti asuhan, dan sahabat-sahabat terkasih dari industri kreatif di Indonesia," ungkapnya.
Kekuatan Seni dalam Menyembuhkan
Didit melanjutkan, "Terima kasih pada semua sahabat yang telah berpartisipasi dalam pameran ini. Semoga ke depannya, gerakan sosial dari pameran ini dapat terus memberi warna dan inspirasi baru dalam menyambut generasi mendatang."
Pameran, yang juga memuat lukisan karya Didit, ini bermaksud merayakan ketahanan dan kekuatan batin setiap anak, menerjemahkan perjalanan emosional mereka ke dalam ekspresi visual yang kuat.
Beberapa minggu sebelum pameran, Monica mengadakan sesi terapi seni bersama anak-anak dari Yayasan Bima Azzahra dan Panti Asuhan Pondok Kasih Agape. Anak-anak menyambut kesempatan itu dengan keterbukaan, mengekspresikan pengalaman hidup dan lanskap emosional mereka melalui seni.
Karya-karya yang dihasilkan ini membentuk inti pameran, dengan setiap karya merupakan refleksi perjalanan pribadi mereka dan bukti kekuatan seni dalam penyembuhan. "Kami percaya bahwa penyembuhan dan pertumbuhan dimulai dengan kemampuan untuk mengungkapkan apa yang tidak selalu dapat diungkapkan dengan kata-kata," kata Didit.
"Pameran ini tidak hanya merupakan penghargaan atas keberanian anak-anak ini, tapi juga panggilan untuk mengakui seni sebagai bagian penting dari kesejahteraan mental, terutama sejak usia dini," ia menambahkan.
Rangkaian Expression of the Journey
Monica berbagi, "Di sini, Anda akan menemukan karya orang dewasa, anak-anak, dan individu dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang berasal dari panti asuhan. Karya-karya ini mengingatkan kita bahwa, terlepas dari perbedaan kita, kita semua unik dengan cara kita sendiri, dan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menjembatani kesenjangan, merayakan keberagaman, dan menyatukan kita semua dalam pengalaman penciptaan bersama."
Selain pameran, rangkaian "Expression of the Journey" juga mencakup seminar "Embarkingthe Journey" yang dipandu Dr. Asheena Baez, seorang pelatih kepemimpinan transformasional dan pakar kesadaran. Seminar tersebut akan mengeksplorasi pendekatan holistik dan berbasis trauma terhadap kesehatan mental, menekankan bagaimana terapi dapat berfungsi sebagai gerbang menuju pertumbuhan pribadi jangka panjang.
Program ini juga mencakup sesi terapi seni interaktif untuk anak-anak berusia 6–15 tahun, yang difasilitasi Monica, dengan fokus pada pengaturan emosi dan perilaku melalui eksplorasi kreatif. Penutup rangkaian pada Minggu, 4 Mei 2025, adalah sesi berbagi pengetahuan yang menampilkan Dr. Shefali, psikolog klinis yang diakui secara internasional dan penulis buku "The Conscious Parent."
Diikuti Dr. Baez, Monica, dan sosok pendidik Indonesia Najelaa Shihab, sesi tersebut akan membahas lebih mendalam tentang pengasuhan yang sadar dan kekuatan kesadaran daalm menumbuhkan kecerdasan emosional sejak masa kanak-kanak.