Liputan6.com, Jakarta - Kejadian banjir di Jabodetabek pada Maret 2025 dinilai sebagai pengingat bahwa penanganannya selama ini belum tuntas sehingga kejadian terus berulang. Momentum banjir Jabodetabek selanjutnya menjadi studi kasus yang dibahas dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Rakornas PB) pada 18--20 Maret 2025.
Usulan rekomendasi yang telah disampaikan pada Rakornas PB kemudian ditandaklanjuti dengan diskusi "Ngopi Bareng BNPB road to Adexco 2025" bertajuk "Bisakah Jabodetabek bebas banjir?".
Dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Jumat (2/5/2025), Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum dan Penanganan Sengketa Penataan Ruang Wilayah II Kementerian ATR/BPN Audrei Winny Cynthiasari menyebut penanganan banjir dimulai dari pedoman cetak biru dalam rencana penggunaan lahan. Menurutnya, penyusunan tata ruang dalam upaya pengurangan risiko bencana perlu mempertimbangkan kawasan rawan bencana serta analisis daya dukung dan tampung lingkungan.
Hal ini penting untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mengakomodasi kebutuhan tata ruang pada lokasi tertentu. Untuk mengurangi risiko banjir misalnya, penerapan zero delta Q dapat diupayakan untuk mengurangi limpasan. Zero delta Q merupakan konsep pengelolaan sumber daya air dengan cara menahan atau menampung limpasan air permukaan.
Penertiban dalam pemanfaatan ruang sudah diupayakan melalui pengaturan tata ruang hingga penggunaannya berdasarkan jenis aktivitas. Namun, ia mengakui bahwa celah penyalahgunaan ruang tetap terjadi di lapangan sehingga perlu didukung penegakan hukum yang lebih tegas. Pihaknya pun ikut memonitor tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran, tetapi juga pengembalian lingkungan yang terdampak pelanggaran.
Dry Dam Inisiatif Pemerintah Atasi Banjir Belum Maksimal
Direktur Sungai dan Pantai Kementerian PUPR Dwi Purwantoro menambahkan bahwa pola penataan sangat berpengaruh terhadap pola aliran air. Karena itu, selain penataan ruang, upaya pengurangan risiko banjir juga membutuhkan peran infrastruktur yang memadai.
Di Jabodetabek, pertumbuhan penduduk yang pesat mengakibatkan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan kebutuhan lainnya meningkat. Saat ini, tutupan lahan di wilayah Jabodetabek sudah mencapai lebih dari 80 persen.
Hal ini berarti aliran air yang bisa masuk ke tanah hanya 20 persen. Keadaan ini jauh dari kata ideal yang seharusnya resapan air ke tanah sebanyak 60-70 persen. Pemerintah pusat berupaya mengatasi banjir dengan membangun dry dam di Ciawi (Ciliwung dan Jakarta) dan Cimahi. Kedua dam ini mampu mereduksi 22 persen air, masih ada 16 km yang belum tertanggul.
Selain itu juga percepatan pelaksanaan pembebasan tanah untuk memitigasi melalui pembangunan infrastruktur. Pada area hulu, pemerintah tengah membangun delapan titik kolam retensi untuk penampungan air hujan di wilayah Puncak.
Memitigasi Pembangunan Infrastruktur
Dari segi mitigasi non-struktural, Direktur Mitigasi Bencana BNPB Berton Suar Panjaitan menyampaikan bahwa BNPB mengkoordinasi lintas pemangku kepentingan, seperti Kementerian/Lembaga, dunia usaha, non-pemerintahan, media dan masyarakat. Upaya pengurangan risiko banjir juga dilakukan melalui pedoman mitigasi banjir, penguatan desa tangguh bencana bersama pemerintah darah, serta edukasi dan simulasi evakuasi kejadian dengan keterlibatan masyarakat.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan, pengurangan risiko bencana dengan pendekatan kearifan lokal memegang peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat. Komitmen pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam upaya penanganan banjir.
Komitmen ini tidak hanya terkait anggaran namun juga koordinasi seluruh pelaku kebencanaan termasuk para pelaku dunia usaha. Salah satu bentuk upaya kolaboratif pengurangan risiko non-struktural adalah melalui Asia Disaster Management & Civil Protection Expo & Conference (Adexco 2025).
"Mewujudkan Jabodetabek bebas banjir tidak bisa hanya by accident saja, namun membutuhkan perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan semua sektor," terangnya.
Upaya Kolaboratif Kurangi Risiko Non-Struktural
Muhari mengklaim kegiatan itu merupakan wadah bertemunya berbagai unsur penanggulangan bencana, termasuk pihak swasta yang bergerak dalam bidang peralatan dan layanannya kebencanaan. Kegiatan yang akan diselenggarakan pada September 2025 dilengkapi muatan edukasi melalui seminar kebencanaan. Seluruh lapisan dan unsur masyarakat dapat hadir untuk meningkatkan wawasan kebencanaan.
Terkait banjir di Jabodetabek pada Maret 2025, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan, Dyah Murtiningsih, menjelaskan bahwa banjir dan longsor tidak hanya disebabkan oleh DAS Ciliwung, tetapi juga melibatkan beberapa DAS lainnya.
"Banjir bandang dan longsor di Puncak, yakni Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung terjadi di Sub DAS Ciliwung hulu dan DAS Ciliwung yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango termasuk kawasan lindung area PTPN," kata Diah saat penanaman pohon di kawasan Puncak Bogor, Sabtu, 22 Maret 2025, dikutip dari kanal News Liputan6.com.
Berdasarkan peta lahan kritis, seluas 2.200 hektare lahan di empat DAS mengalami kerusakan. Seluas 800 hektare lahan kritis berada di kawasan hutan dan sekitar 1400 hektare di luar kawasan hutan.