Kata Fiersa Besari soal Booking Lahan Kemah: Pentingnya Komunikasi dan Tanggung Jawab Pihak Tur Operator

6 days ago 21

Liputan6.com, Jakarta - Booking lahan kemping di gunung baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pendaki. Banyak kritik yang dialamatkan pemilik tur operator yang melakukan praktik ini telah mencederai semangat kebersamaan di alam bebas.

Masalah booking lahan kemping ini semula viral karena unggahan seorang pendaki di media sosial Instagram @luluvitaaaasa_ yang diposting ulang akun TikTok @anakpakdo pada 1 Juni 2025.

Tampak dalam video tersebut ungkapan kekecewaan pendaki tersebut karena dilarang mendirikan tenda di Plawangan Sembalun, Gunung Rinjani. "Kita udah pasang tenda di sini, tapi katanya udah di-booking terus kita diusir," katanya.

Ternyata video singkat itu langsung menuai banyak respons. Tim Lifestyle Liputan6.com mencoba menghubungi pengunggah video, namun menolak untuk bercerita lebih jauh soal pengalamannya diusir saat mendirikan tenda. 

Salah satunya dari Fiersa Besari yang menyebut bahwa praktik tersebut sebenarnya sudah lama berlangsung oleh tur operator. Menurutnya, insiden semacam ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut keselamatan pendaki. 

Pentingnya Komunikasi dan Tanggung Jawab Pihak Operator

"Saya baru baca-baca yang soal booking lahan, jadi setau saya memang kalau di banyak sekali tur operator itu, yang porter akan jalan duluan sampai ke camp ground terus mendirikan tenda tenda untuk peserta open tripnya," ungkap Fiersa di media sosial Instagramnya pribadinya @fiersabesari yang dibagikan pada 3 Juni 2025.

"Yang ngga wajar itu kalau si peserta tripnya terlalu banyak dan sampai akhirnya menguasai si lahan tersebut," sambungnya.

Ia mengutip pandangan ahli dari timnya untuk memperjelas pandangannya. "Ini yang jadi masalah kalau saya baca adalah ada pendaki sudah mendirikan tenda kemudian diusir karena dibilang itu lahan milik peserta open trip. Itu salah sih menurut saya," ungkapnya.

Fiersa ikut menyinggung pentingnya komunikasi dan tanggung jawab dari pihak tur operator. Ia mempertanyakan apakah masalah ini terjadi karena miskomunikasi atau sistem yang sudah lama dibiarkan. 

Tur Operator Harus Bersikap

"Apapun itu menurut saya sih komunikasinya harus dibetulkan, dan menurut saya tur operator yang bermasalah nih langkah terbaiknya menurut saya seharusnya membuat pernyataan sikap sih. Nggak cuma diem ya," jelasnya.

Namun, Fiersa juga mengingatkan agar pendaki tidak menjadikan kasus seperti ini sebagai alasan untuk memandang buruk semua peserta open trip. Ia pun mengingatkan bahwa tidak semua orang yang mendaki memiliki kekuatan fisik yang sama. Liputan6.com telah mencoba menghubungi pihak tur operator, namun belum ada tanggapan.

Selain kejadian di Gunung Rinjani, ada pula masalah serupa di Gunung Merbabu soal booking tenda. Dalam video yang diunggah pemilik akun Instagram @friendsadventure17 pada 1 Juni 2025, dinarasikan bahwa pendaki tersebut diusir oleh pendaki lain yang mendaki dengan jasa open trip.

Menanggapi ramainya video viral pendaki yang diduga melakukan booking lahan kemping di gunung, pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu menegaskan bahwa setiap pendaki punya hak yang sama saat mendaki.

Pihak Taman Nasional Tekankan Tidak Ada Booking Lahan

Dalam unggahan di akun Instagram @btb_gn_merbabu yang juga dibagikan ulang akun @harleysastha, @btn_gn_rinjani dan @mountaineeringfeed.indonesia pada Senin, 2 Juni 2025, dituliskan bahwa semakin sering terdengar cerita pendaki "mandiri" yang merasa “terusir” dari area camping atau perkemahan.

Hal itu diyakini terjadi karena ada penyelenggara open trip yang datang lebih dulu dan mematok tempat, bahkan “booking” area untuk rombongannya. Mereka pun tidak menyisakan tempat untuk pendaki lain atau pendaki mandiri.

Mereka melanjutkan, ini bukan hanya soal camp dan tenda, tapi soal etika, keadilan akses, dan juga ruang hidup satwa liar dan tanggung jawab bersama untuk berbagi ruang dan menjaganya.

"Open trip boleh, tapi jangan sampai menyingkirkan yang lain atau hak orang lain, juga satwa liar dan kehidupan liar lainnya. Pendakian sejatinya adalah tentang kewajiban, hak, dan berbagi, bukan mendominasi," tulis unggahan tersebut.

Mereka menambahkan bahwa gunung bukan tempat bebas seenaknya—walau terbuka untuk umum, tetap ada aturan dan batasan. Sebagian besar jalur pendakian berada di kawasan konservasi dan hutan lindung. 

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |