Review Buku Museum Teman Baik, Antologi Pasang Surut Pertemanan Dewasa

4 weeks ago 56

Liputan6.com, Jakarta - "Museum Teman Baik" merupakan buku ke-10 POST Press, penerbit independen yang juga mengelola toko buku POST Bookshop di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Menerbitkan satu buku per tahun, mereka mempersembahkan antologi 10 cerita pendek yang menjelajah kompleksitas pertemanan dewasa sebagai terbitan tahun lalu, dan sudah ada di cetakan ke-6 per awal April 2025.

Merujuk catatan editornya, lima penulis buku ini dipilih dari undangan terbuka, sementara lima lainnya "diajak" menulis. Kesepuluhnya adalah Ruhaeni Intan, Kennial Laia, utiuts, Bageur Al Ikhsan, Rassi Narika, Sri Izzati, Awi Chin, Reda Gaudiamo, Teguh Affandi, dan Cyntha Hariadi.

Sinopsis "Museum Teman Baik" berbunyi:

"Bagi banyak dari kita, hubungan pertemanan terasa begitu penting di masa kanak-kanak hingga remaja. Bersama waktu, hidup menghadang kita dengan kerumitan-kerumitan baru, juga ragam hubungan pribadi yang dirasa lebih penting untuk dirawat─dengan keluarga, pasangan, atau anak-anak. Saat itu teman terdekat perlahan mundur, menjauh, menjadi orang yang sama sekali asing.

Sinopsis Museum Teman Baik

Namun, bagi banyak yang lain, pertemanan justru menjadi tempatnya bersandar, yang menyelamatkan di saat-saat terapuhnya. Seperti hidup, pertemanan di usia dewasa pun memapar kita pada ragam dinamikanya. Ada yang brutal, ada yang menjaga dan melindungi. Ada yang keos bergejolak, ada yang tenang. Ada yang bertahan, ada yang berakhir terlalu cepat.

Melalui cerita, sepuluh penulis menjelajahi kompleksitas pertemanan usia dewasa ini─bagaimana ia bertahan atau terhempas saat diuji oleh ketegangan yang timbul karena perbedaan kelas, pilihan-pilihan, dan jalan hidup? Kami menjalinnya untuk teman-teman sekalian, dalam sebuah museum kecil yang menyimpan hal-hal yang pada sebuah masa begitu berharga, atau yang terus tumbuh hingga kini dan nanti."

Ulasan saya akan bermula dari cover. Jujur, di antara buku terbitan POST Press, "Museum Teman Baik" merupakan yang paling saya kurang suka─bahkan "Lusifer! Lusifer!" dengan warna biru terangnya jauh lebih menarik.

Jangan Terlewat Catatan Editornya

Sampul "Museum Teman Baik" kurang memiliki identitas karena, menurut saya, agak mirip dengan salah satu buku populer Mieko Kawakami yang belum juga menarik hati saya untuk membacanya. Namun karena saya percaya pada kurasi para editor: Teddy W. Kusuma dan Maesy Ang, saya tetap mengamankan cetakan pertama buku tersebut.

Setelah membaca 10 cerita pendek di dalamnya, yang menghantar gelombang nostalgia karena sebagian pernah dan masih saya alami, yang paling menarik untuk saya justru catatan editornya. Saya sudah tiga kali membaca buku ini, dengan yang pertama dan ketiga tidak melewatkan bagian tersebut.

Ada titik berangkat yang berbeda saat membaca atau tidak membaca lebih dulu catatan editornya. Teddy dan Maesy memberi perspektif dan teaser menarik untuk membentuk rasa penasaran pembaca. Saya biasanya akan membaca catatan editor berdasarkan tingkat kemenarikan paragraf pertama.

Jadi, bagaimana saya bisa menolak, "SAAT hidup menghempasmu, dunia meninggalkanmu sendiri, dan usiamu semakin bertambah, apakah uluran tangan pertemanan─lama atau baru─yang akan menyelamatkanmu?"

Cerita Favorit

Terlepas dari itu, saya punya dua cerita favorit: Kau Beruntung Menikahi Sahabatku oleh Bageur Al Ikhsan dan Pada Suatu Senin oleh Reda Gaudiamo. Saya menyukai tulisan Bageur, karena relate. Begitulah cara saya berteman selama belasan tahun dengan teman-teman terdekat saya.

Seperti di cerita Bageur, saya punya teman laki-laki, di antara lingkaran pertemanan "Ring 1" saya, dan kami sudah berkawan selama 14 tahun. Dia bahkan menulis surat─bersama dua teman karib saya lainnya─saat saya menikah. Tapi alih-alih untuk pihak suami seperti di cerita, surat itu tertuju pada saya.

Untuk tulisan Reda, saya sudah berekspektasi, karena memang suka dengan karya-karyanya. Lagi-lagi, ia memberi perspektif segar dalam cerita pendeknya di buku ini. Saya selalu berandai-andai tentang jalinan pertemanan di masa tua, dan apa yang Reda sampaikan terasa begitu hangat, tapi tidak dipaksakan.

Pada akhirnya, buku ini cocok dibaca siapa pun yang ingin bernostalgia maupun memikirkan ulang bagaimana pertemanan terjalin di antara labirin kehidupan dewasa. Teman kita mungkin tidak lagi jadi pemanggil dengan suara meninggi di depan rumah, namun berada di ruang yang paling kita butuhkan─atau tidak kita butuhkan─saat ini.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |