Liputan6.com, Jakarta - Panen perdana tambak udang vaname berbasis pendekatan Climate Smart Shrimp (CSS) di Desa Lalombi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, mencatat hasil menggembirakan dengan produksi lebih dari 50 ton pada panen yang dilakukan selama tiga hari, 10-12 Juni 2025. Keberhasilan ini menjadi tonggak penting dalam pengembangan model budi daya udang berkelanjutan yang mengintegrasikan teknologi, konservasi, dan ketahanan pangan biru.
Fisheries and Aquaculture Program Manager Konservasi Indonesia, Burhanuddin, menyatakan bahwa pendekatan CSS yang mampu meningkatkan produktivitas budi daya udang vaname ini dirancang untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan akibat alih fungsi mangrove dan praktik tambak yang tidak ramah lingkungan.
“CSS dirancang sebagai solusi untuk mengatasi tekanan perubahan iklim terhadap ekosistem pesisir akibat alih fungsi mangrove dan aktivitas tambak yang tidak ramah lingkungan. Model ini mengintegrasikan teknologi instalasi pengolahan air limbah (IPAL), praktik budi daya berkelanjutan, dan restorasi mangrove sebagai biofilter alami. Hasilnya adalah pendekatan yang seimbang antara peningkatan produksi udang dan pelestarian ekosistem pesisir,” ujar Burhan.
Potensi Restorasi Mangrove
Ia juga menyoroti potensi besar dari restorasi mangrove dalam menyerap karbon dan mendukung ketahanan pangan biru. Untuk restorasi mangrove di area tambak Lalombi ini, dia menjelaskan, potensi serapan karbon dari restorasi itu bisa mencapai 7,4 ton karbon per hektare per tahun.
“Apabila kita ambil prediksi stok karbon antara 500 sampai 1.083 ton karbon per hektare maka kita bisa asumsikan dengan restorasi mangrove seluas 3,5 hektare tersebut, kita akan mendapatkan stok karbon sebesar kurang lebih sekitar 3.700 ton karbon," paparnya.
Selain itu, KI meyakini program ini menunjukkan adanya potensi besar antara peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat pada ketahanan pangan biru, sekaligus mendukung konservasi lingkungan. Peran dan fungsi dari ekosistem mangrove ini sangat penting untuk keanekaragaman hayati dari biota-biota yang ada di ekosistem tersebut.
"Seperti misalnya kepiting bakau, kemudian beberapa jenis ikan merupakan tempat bertelur ikan itu di ekosistem mangrove sebelum mereka migrasi ke perairan laut. Sehingga, beberapa nutrisi yang ada di dalam ekosistem mangrove itu merupakan sumber makanan bagi biota-biota ikan yang ada di mangrove itu sendiri," katanya.
Kolaborasi dengan JALA
Dari sisi teknologi, CEO JALA – startup teknologi akuakultur – Aryo Wiryawan menegaskan bahwa sistem pemantauan kualitas air dan pelacakan produksi secara real-time yang diterapkan di tambak ini memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data dan transparansi rantai pasok. JALA resmi berkolaborasi dengan Konservasi Indonesia dalam meluncurkan program Climate Smart Shrimp Farming (CSSF) pertama di Asia ini sejak Februari lalu.
“Panen perdana tambak CSSF di Lalombi sukses besar dengan hasil mencapai 52 ton per hektar—jauh di atas rata-rata nasional. Udangnya tumbuh optimal, berukuran hingga 24 ekor per kilogram, dan memenuhi standar ekspor. Ini menunjukkan manajemen budi daya yang sangat efektif dan potensi besar untuk pasar internasional,” kata Aryo.
Lebih lanjut, Aryo menilai, keberhasilan panen pertama ini diharap dapat menjadi model nasional yang bisa direplikasi di berbagai kawasan pesisir Indonesia. “Sistem ini mampu menjawab tantangan krusial seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ketimpangan ekonomi dalam satu pendekatan terpadu,” ungkap Aryo.
Pendekatan Berbasis Alam untuk Jaga Ekosistem Pesisir
Sementara itu, dari sisi riset dan konservasi, Peneliti Riset Karbon Biru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mariska Astrid, menekankan pendekatan berbasis alam dalam menjaga ekosistem pesisir seperti yang dilakukan di Lalombi ini sangatlah penting. BRIN melakukan pengukuran kualitas air dan kandungan karbon di tambak dan kawasan mangrove untuk mengevaluasi fungsi filtrasi alami mangrove terhadap limbah tambak.
Selain menyaring limbah, mangrove juga menyerap dan menyimpan karbon dalam sedimen, memberikan manfaat ganda (co-benefit) bagi lingkungan. "Tambak CSS ini adalah tambak udang berbasis alam. Nature-based solutions untuk mendukung budi daya udang yang berkelanjutan. Hasil sampel ini akan kami uji laboratorium terlebih dulu, namun kami optimistis jika dilihat dari aktivitas panen hari ini, bahwa tambak udang model seperti ini dapat menyelamatkan ekosistem perairan pesisir," jelas Astrid.
Dari hasil pengamatan awal terhadap sistem filtrasi alami yang diterapkan, BRIN menjelaskan, terlihat perbedaan yang spesifik jika dibandingkan dengan panen pada kolam tambak pada umumnya. Dari sini air buangan dari panen pada kolam tambak udang yang sebelumnya berbuih sangat banyak karena kandungan kimia dan fosfor, dan mengalir melalui IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), lalu difiltrasi secara alami oleh mangrove, terbukti nyata dan dapat dilihat buih dari limbah hilang.