Studi Terbaru Ungkap Dampak Serius Perubahan Iklim terhadap Produksi Susu Sapi

18 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi baru yang dipublikasikan di Science Advances mengungkap bahwa panas ekstrem tidak hanya memangkas produksi susu hingga 10 persen dalam satu hari. Hal ini juga menimbulkan dampak jangka panjang yang dapat bertahan lebih dari seminggu.

Mengutip Euronews, Kamis, 10 Juli 2025, penelitian ini menyoroti tantangan serius yang dihadapi industri susu global di tengah krisis iklim, meski sudah ada teknologi pendingin canggih yang diterapkan. Para peneliti berfokus pada Israel, yang dikenal sebagai salah satu negara penghasil susu paling inovatif di dunia.

Dengan produksi susu per sapi yang tinggi dan penggunaan teknologi canggih, seperti kipas angin, ventilasi, dan sistem penyemprot air, Israel seharusnya jadi model dalam menghadapi tantangan ini. Namun, penelitian menunjukkan bahwa bahkan di Israel, sistem pendingin hanya mampu mengurangi separuh dari kerugian produksi, dan efektivitasnya menurun pada hari-hari terpanas.

Rekan penulis studi, Eyal Frank, menyatakan bahwa peternakan yang paling canggih sekalipun mungkin tidak cukup siap untuk menghadapi perubahan iklim. "Strategi adaptasi yang ada mungkin tidak cukup," katanya.

Kondisi Sapi Ketika Panas Melebihi 26 Derajat Celcius

Penelitian ini melibatkan pelacakan lebih dari 130 ribu sapi selama 12 tahun, menggunakan catatan cuaca terperinci dan survei peternakan. Temuan menunjukkan bahwa ketika suhu bola basah, yang mencerminkan kelembapan, melebihi 26 derajat Celcius, produksi susu mulai menurun tajam.

Dampak dari kondisi lembap ini dapat dibandingkan dengan mandi uap yang membuat sapi membutuhkan waktu lebih dari 10 hari untuk pulih sepenuhnya. Meski hampir semua peternakan dalam penelitian ini telah menginvestasikan beberapa bentuk pendinginan, hasilnya hanya sebagian efektif.

Pada suhu bola basah 20 derajat Celcius, pendinginan dapat mengurangi kerugian hingga setengahnya. Namun, pada suhu 24 derajat Celcius, efektivitasnya turun jadi 40 persen. Namun demikian, investasi dalam peralatan pendingin tetap membuahkan hasil, dengan rata-rata pengembalian investasi dalam waktu 18 bulan.

Penelitian ini juga memproyeksikan dampak global menggunakan data Israel sebagai tolok ukur. Tanpa pendinginan, produksi susu harian di 10 negara penghasil susu teratas dunia dapat menurun hingga empat persen pada pertengahan abad ke-21. Negara-negara dengan iklim panas, seperti India, Pakistan, dan Brasil diperkirakan akan mengalami penurunan yang lebih tajam.  

Ada Biaya Adaptasi Kondisi Iklim Ekstrem

Bagi petani dan produsen berpenghasilan rendah di iklim panas, biaya adaptasi mungkin tidak terjangkau. Profesor madya di Universitas Ibrani Yerusalem, Ayal Kimhi, menyatakan bahwa adaptasi mahal, dan petani perlu mempertimbangkan dengan cermat manfaat yang diperoleh dibandingkan biayanya.

"Belum ada isolasi penuh sapi dari lingkungan mereka, yang akan terlalu mahal untuk diterapkan," tambahnya.

Selain produksi susu, stres panas juga memengaruhi kesejahteraan dan perilaku hewan, termasuk pola kesuburan dan kemampuan bertahan hidup. Para petani di seluruh dunia sudah menghadapi tantangan cuaca ekstrem, termasuk banjir, gelombang panas, dan curah hujan yang tidak terduga, yang mengancam hasil panen dan kehidupan sehari-hari mereka.

Penulis utama studi, Claire Palandri, menekankan perlunya strategi yang lebih komprehensif untuk mengurangi faktor stres pada sapi, seperti kurungan dan pemisahan anak sapi. "Tanpa tindakan yang lebih cepat, dampak perubahan iklim tidak hanya akan mengubah upaya para peternak, tapi juga apa yang kita makan dan minum," kata Frank. 

Terlalu Banyak Pupuk Kandang

Berkaitan dengan dampak perubahan iklim, pertanian Belanda menghasilkan terlalu banyak nitrogen. Seiring target meleset, ekosistem terdampak, dan target hijau Uni Eropa berada di ujung tanduk, lapor Euronews.

Lalu, dapatkah produksi pangan dan konservasi alam hidup berdampingan? Belanda merupakan pengekspor produk pertanian terbesar kedua di dunia dan sumber utama krisis nitrogen di Eropa.

Di sini, nitrogen yang tersimpan di setiap hektare lahan pertanian masih tiga kali lipat rata-rata Uni Eropa. Namun, pemerintah telah menunda pengurangan emisi nitrogen hingga setengahnya selama lima tahun, hingga 2035, sebuah keputusan yang bertentangan dengan hukum nasional dan Eropa yang bertujuan mencapai polusi nitrat mendekati nol pada 2050.

Pertanian intensif merupakan salah satu penyebab utamanya. Di Belanda, terdapat 620 ekor ternak untuk setiap 100 penduduk. Semua hewan ini, yang terkonsentrasi di area yang relatif kecil, selain menghasilkan daging, keju, dan susu, juga menghasilkan sejumlah besar produk sampingan yang semakin sulit dikelola: pupuk kandang. 

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |