Liputan6.com, Jakarta - Kedutaan Besar Jepang di Laos dan Kementerian Luar Negerinya mengeluarkan peringatan yang jarang dan sangat langsung. Isinya agar pria Jepang tidak "membeli layanan seks dari anak-anak" di Laos.
Langkah ini dipicu oleh Ayako Iwatake, seorang pemilik restoran di Vientiane, yang diduga melihat unggahan media sosial pria-pria Jepang yang membanggakan prostitusi anak. Menanggapi hal ini, ia meluncurkan petisi yang menyerukan tindakan pemerintah.
Mengutip Japan Today, Rabu, 30 Juli 2025, buletin berbahasa Jepang tersebut menegaskan bahwa aksi mereka dapat dituntut berdasarkan hukum Laos dan undang-undang prostitusi dan pornografi anak Jepang, yang berlaku secara bebas dari hukum setempat.
Pernyataan itu dipandang bukan sekadar peringatan hukum. Ini merupakan pengakuan publik yang langka atas dugaan keterlibatan pria Jepang dalam pariwisata seks anak transnasional, khususnya di Asia Tenggara.
Ini juga merupakan momen yang menuntut kita untuk melihat melampaui tindakan kriminal individu atau satu negara dan mempertimbangkan ketidaksetaraan historis, rasial, dan struktural yang membuat perpindahan dan pemanfaatan seperti itu bisa terjadi.
Jejak Eksploitasi dari Masa ke Masa
Menjual dan membeli seks di Asia bukanlah hal baru. Konturnya telah bergeser seiring waktu, tetapi sentimen yang mendasarinya tetap konstan. Beberapa nyawa murah dan dikomodifikasi, sementara yang lain dompetnya tebal dan merasa berhak.
Keterlibatan Jepang dalam prostitusi di luar negeri berawal dari periode Meiji (1868-1912). Perempuan muda dari daerah pedesaan miskin, dikenal sebagai karayuki-san, bermigrasi ke luar negeri, seringkali ke Asia Tenggara, untuk bekerja di industri seks, dari kota-kota pelabuhan di Malaya hingga rumah bordil di Tiongkok dan Kepulauan Pasifik.
Jika kemiskinan pernah mendorong perempuan Jepang di luar negeri untuk menjual tubuh mereka, pada pertengahan abad ke-20 didorong oleh ledakan ekonomi Jepang pascaperang, justru laki-laki Jepang yang kaya yang mulai bepergian ke luar negeri untuk membeli seks. Sekitar tahun 2000-an, dinamikanya berbalik lagi.
Peran Baru Jepang dalam Perdagangan Seks
Pria Jepang dan Korea Selatan mulai muncul sebagai pembeli utama seks anak di luar negeri, khususnya di Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, dan bahkan Mongolia. Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, pria Jepang terus menjadi "sumber permintaan yang signifikan untuk pariwisata seks", sementara pria Korea Selatan tetap menjadi "sumber permintaan untuk pariwisata seks anak".
Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan dan organisasi lainnya juga telah menandai kedua negara tersebut sebagai kontributor utama eksploitasi seksual anak di kawasan tersebut. Pergeseran yang lebih baru dan meresahkan tampaknya sedang terjadi di Jepang. Di tengah kemacetan ekonomi yang sedang berlangsung dan depresiasi yen, Tokyo dilaporkan menjadi tujuan wisata seks.
Organisasi perlindungan remaja telah mengamati peningkatan jumlah klien pria asing, terutama Tiongkok, yang sering mengunjungi daerah-daerah remaja putri dan perempuan muda terlibat dalam seks untuk bertahan hidup. Salah satu pendorongnya beragam, termasuk obsesi terhadap keperawanan atau takhayul bahwa seks dengan gadis muda membawa keberuntungan dalam bisnis dan kekuasaan.
Pentingnya Melindungi Anak-anak
Kampanye global untuk mengakhiri wisata seks anak dimulai dengan sungguh-sungguh dengan pembentukan ECPAT atau jaringan organisasi global yang berupaya mengakhiri eksploitasi seksual anak pada 1990 untuk menghadapi meningkatnya eksploitasi anak-anak di Asia Tenggara. Meskipun ada kerangka hukum dan pengawasan internasional, pelecehan anak-anak masih sangat umum terjadi.
Beberapa faktor pemicunya meliputi kemiskinan endemik, penegakan hukum yang lemah, dan masuknya pria asing kaya secara terus-menerus. Ditambah lagi dengan era digital teknologi informasi dan komunikasi dengan seks anak dapat diiklankan, diatur, dan dikomersialkan melalui platform yang dilindungi dan forum khusus undangan, krisis ini semakin dalam.
Meskipun pemerintah daerah sering menjanjikan reformasi, penerapannya tidak konsisten. Pelanggan seks anak seringkali berhasil menghindari konsekuensi. Baru pada awal 2025, Badan Kepolisian Nasional Jepang menangkap 111 orang, termasuk guru dan tutor sekolah menengah atas yang terlibat dalam kasus eksploitasi seksual anak daring, bekerja sama dengan mitra internasional.