Prasasti Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno Batu Minto, Dua Abad Terbengkalai di Inggris

1 week ago 24

Liputan6.com, Malang - Batu Minto (Minto Stone) merupakan sebuah prasasti abad ke-10 yang terletak di halaman rumah seorang bangsawan Inggris di perbatasan Skotlandia dan Inggris, Keluarga Minto. Batu yang disebut Prasasti Sangguran di Indonesia ini merupakan peninggalan bersejarah Kerajaan Mataram Kuno yang sudah dua abad jauh dari tempat asalnya di Malang, Jawa Timur.

Mengutip dari berbagai sumber, pada permukaan Batu Minto terdapat ukiran terkait sejarah kerajaan hingga kutukan. Selama 210 tahun, Batu Minto telah dipindah dari Malang ke perbatasan Skotlandia dan Inggris.

Batu setinggi dua meter itu bertarikh 928 M atau 850 Saka. Ukiran-ukiran pada prasasti ini tertulis dalam aksara Jawa Kuno.

Konon, proses pemindahan batu ini melibatkan empat nama, yakni Lord Minto, Thomas Stamford Raffles, Colin Mackenzie, dan Tumenggung Suradimanggala. Berupaya menginvasi Jawa serta menguasai kekayaan alam dan jalur perdagangan, Lord Minto pun mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur di Jawa pada 1812.

Dengan keyakinan bahwa mempelajari masa lalu Jawa dapat mengajarkan sejarah pada penduduk lokal, Raffles pun mulai mengumpulkan artefak, menjarah manuskrip Jawa dari Kesultanan Yogyakarta, hingga mengirim dua prasasti penting ke luar negeri. Ia kemudian mengirim salah satu orang kepercayaan ya ke Jawa Timur, Mayor Jenderal Colin Mackenzie.

Mackenzie kemudian menemukan sebuah batu prasasti besar di kaki Gunung Arjuno-Welirang. Atas restu Bupati Malang saat itu, Tumenggung Suradimanggala, batu itu pun diangkat dan dipindahkan pada 1813.

Maksud pemindahan ini adalah sebagai hadiah istimewa bagi Lord Minto. Raffles menganggap bahwa Lord Minto telah berperan penting saat Indonesia jatuh ke tangan Inggris. Hadiah ini menyusul pengangkatan Raffles menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Lord Minto.

Prasasti Sangguran tak dikirim sendiri. Prasasti ini dibawa bersama prasasti lainnya yakni Prasasti Pucangan.

Prasasti Sangguran ditempatkan oleh Lord Minto di halaman rumahnya di kawasan Roxburghshire sebelum pensiun dan kembali ke kediaman keluarganya di Skotlandia. Sementara Prasasti Pucangan dikirim ke Kalkuta di India dan kini menjadi koleksi Museum India.

Kisah Kerajaan Mataram Kuno

Salah satu torehan pada batu tersebut memuat sejarah terkait Kerajaan Mataram Kuno. Ada pula sejarah terkait pergeseran pusat kerajaan dari Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh raja besar Mpu Sindok.

Dengan demikian, Batu Minto sebenarnya merupakan peningalan bersejarah Kerajaan Mataram Kuno.

Batu Minto memuat ukiran yang berisi kutukan bagi siapa pun yang memindahkannya. Sederet peringatan tertulis pada batu tersebut yang berbunyi, "Potong hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, cabut ususnya, makan dagingnya, minum darahnya, dan habisi dia tanpa ampun".

Sebenarnya, tulisan semacam ini lazim ditulis pada prasasti abad ke-10. Tujuannya, sebagai perlindungan untuk sebuah wilayah maupun benda suci.

Ukiran kutukan pada Batu Minto tak lepas dari isi yang terkandung pada Prasasti Sangguran. Pasalnya, prasasti ini juga berisi penetapan Desa Sangguran sebagai sima atau tanah perdikan yang dilarang dipindahkan.

Kutukan ini bisa saja disebut sebagai salah satu unsur budaya. Namun lebih dari itu, ini merupakan bagian dari sistem hukum dan kekuasaan spiritual masa itu.

Beberapa nama yang terlibat dalam pemindahan prasasti ini diketahui mengalami kejadian tragis. Colin Mackenzie meninggal dalam perjalanan.

Thomas Stamford Raffles kehilangan istrinya yang masih sangat muda dan empat anaknya. Ia juga meninggal dunia pada usia 45 tahun karena stroke.

Tak berhenti di situ, kutukan juga masih mengincar Raffles setelah dimakamkan. Makamnya yang berada di St. Mary's Church, Hendon, London, sempat tak ditemukan selama bertahun-tahun. Penyebabnya adalah renovasi dan bencana kebakaran gereja. Di sisi negara lain, Tumenggung Suradimanggala juga dilaporkan meninggal dunia tak lama setelah kejadian.

Prasasti ini juga mencatat makanan lokal yang masih dikenal hingga saat ini, yakni rujak dan dodol. Menu makanan ini disajikan sebagai salah satu jamuan dalam sebuah pesta besar.

Pemulangan Prasasti Sangguran

Setelah lebih dari dua abad jauh dari tanah asalnya, prasasti ini masih belum juga kembali. Namun, sebenarnya rencana pemulangan prasasti ini sudah bergulir selama lebih dari dua dekade sejak 2004.

Prasasti Sangguran memiliki nilai sejarah, budaya, dan spiritual bagi masyarakat Jawa. Seperti prasasti-prasasti pada umumnya di Malang, Batu Minto juga menjadi salah satu prasasti yang dihormati.

Masyarakat adat Ngadat di sekitar Batu, Malang, kerap menggelar upacara penghormatan setiap Agustus. Ini merupakan bentuk penghargaan terhadap prasasti yang dianggap memiliki kekuatan sakral.

Prasasti Sangguran juga menjadi salah satu prasasti yang diadatkan melalui upacara penghormatan tersebut. Meski dipisahkan jarak, masyarakat adat Ngadat masih merawat hubungan spiritual dengan prasasti ini.

Dalam pelaksanaannya, warga akan membawa sesajen sambil membaca doa-doa untuk leluhur dan menyampaikan harapan agar batu warisan tersebut bisa kembali. Bagi mereka, Prasasti Sangguran merupakan artefak sejarah sekaligus bagian dari identitas dan keseimbangan spiritual desa.

Saat ini, Prasasti Sangguran di halaman rumah bangsawan Inggris dimiliki oleh pewaris gelar Earl of Minto, Timothy Elliot-Murray-Kynynmound. Meski sudah dua abad berada di halamannya, ia akan dengan senang hati menyambut pemindahan Batu Minto ke tanah asalnya di Malang, Jawa Timur.

Pada 2006, delegasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di London mengunjungi lokasi Batu Minto. Awal tahun ini, Pemerintah Indonesia juga mulai mengupayakan pemulangan Prasasti Sangguran ini.

Penulis: Resla

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |